BENING AKSARA SUCI MENGALIR DI BEJI WARINGIN PITU DESA KAPAL

BENING AKSARA SUCI MENGALIR DI BEJI WARINGIN PITU

Beji Waringin Pitu memiliki banyak sisi eksotis dan mistik. Nama ‘Waringin Pitu’ tidak ada kaitannya dengan prasasti silsilah raja-raja Kerajaan Majapahit-Jawa. Nama ini berasal dari bahasa Bali. Beji berarti tempat permandian umum yang biasanya yang terletak di dekat sumber air dan dilengkapi dengan tempat suci. Waringin adalah pohon beringin yang hidup di areal beji dan pitu berarti tujuh pancuran (pitu=tujuh). Beji Waringin Pitu merupakan nama untuk pemandian yang memiliki 7 pancuran mata air keramat dan di arealnya terdapat pohon beringin yang sangat rindang. Masyarakat desa dan sekitarnya mengfungsikan tempat Beji Wiringin Pitu untuk pemandian umum, untuk melukat yaitu meruwat diri dan rumah kediaman, atau desanya dengan menggunakan air suci dari 7 pancuran yang datang dari pertemuan 3 sumber mata air. Ketiga sumber mata air ini dijadikan satu oleh I Made Arnata salah seorang sesepuh di Banjar Celuk, sehingga menjadi sebuah sumber air yang menyembul dan mengalirkan air pada tujuh pancuran.

Tempat ini berada kurang lebih 4.5 Km menuju arah utara dari pusat pemerintahan kabupaten Mengwi. Beji Waringin Pitu beralamat di Jalan Sandat Banjar Celuk, Desa Adat Kapal-Kecamatan Mengwi-Kabupaten Badung. Lokasinya berada tepat di sebelah kanan Bale Subak Dukuh Kapal, Pasedahan Yeh Penet Desa Kapal. Tempat ini sekarang telah diaspal dengan areal parkir mobil yang cukup nyaman. Apalagi menjelang odalan yang jatuh pada tanggal 4 Maret 2011, Sukra Umanis Wuku Menail, Beji ini pasti dipadati umat.
Satu-satunya akses jalan utama menuju Beji Waringin Pitu yaitu melewati Kuburan dan Pura Kahyangan Dalem Dukuh. Ketiga tempat yang disakralkan masyarakat Desa Adat Kapal, kini tengah dipugar, dibawah pimpinan Ir.I Made Arnata. Master dan Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana ini menginformasikan, Pemaksan Dukuh Kapal telah melakukan tiga kali renovasi, pertama pada Beji Waringin Pitu, dilanjutkan pada Pura Kahyangan Dalem dan ketiga  tengah dilakukan penyenderan tepian kuburan (setra) milik Desa Adat Kapal.
Ir. I Made Arnata, Sesepuh Pemaksan Dalem Dukuh Kapal
Memasuki lokasi Beji Waringin Pitu ini, semua keriuhan lalu lintas dan kabut hitam dari asap kendaraan diredam rerimbun pohon dan sawah hijau yang menghampar. Pepohonan raksasa seperti merangkul segenap keresahan orang-orang yang diburu waktu dalam diam yang bergemuruh. Nafas perlahan menjadi ritmis dan ruang kehidupan menjadi lebih jernih sembari memberi jeda untuk membaca kembali tujuan kehidupan menjadi manusia. Sesungguhnya, Beji Waringin Pitu berada di tanah milik keluarga Brahmana Mas, Geria Aseman Kapal. Konon menurut cerita Ida Bagus Ngurah Suparsa, tanah Beji ini pemberian dari Raja Badung. Luas tanah pemberian Sang Raja diperkirakan 25 are.

Ida Bagus Ngurah Suparsa. Pemangku
Beji Waringin Pitu

Pemangku dengan dua putra dan dua cucu ini juga menceritakan, konon dimasa lalu terdapat tujuh pohon beringin yang akarnya mengangkangi sungai dan mencapai sisi sungai yang lain. Akibat banjir bandang, yang tersisa sebatang pohon beringin dengan akar-akar yang tajam merajut permukaan tanah.Purchasing manager Hotel Bali Hyatt ini kemudian didaulat menjadi pemangku Beji Waringin Pitu, sejak tahun 2008 bersama istrinya Ida Ayu Ketut Sartini.
Beji Waringin Pitu diyakini masyarakat luas sebagai tempat suci bertuah untuk meruwat segala kemalangan manusia. Beji ini bukan tempat pemandian biasa.“Biasanya, masyarakat yang pertama kali melukat cukup membawa pejati dan kelapa seperti kelapa (bungkak nyuh gadang dan nyuh gading) ke Griya Aseman, setelah itu mereka bisa melakukan pelukatan di Beji” demikian Tuaji Mangku menyarankan.
Beji yang tersembunyi dalam rimbun beringin dan pohon besar lainnya ini menjadi tempat pemujaan Dewa Wisnu dan Betari Gangga. Dewi Gangga di Beji ini disebut sebagai Betari Manik Galih ketika menunjukkan kekuasaan mistiknya dalam bidang pengobatan (me-tetamba-an). Tidak heran jika, beji ini juga dikenal sebagai mata air penyembuh penyakit dan baik untuk kesehatan.

Tukad Yeh Penet dari atas Beji Waringin Pitu
Beji ini juga memiliki keterkaitan erat dengan Dewi Durga yang berada di Pura Dalem Dukuh. Sehingga setiap ada odalan atau upacara besar di Pura Dalem, tempat ini disakralkan untuk menyucikan Dewi Durga, Penentu Akhir Kehidupan. Suasana mistik beji seperti larut dalam derasnya aliran sungai (tukad) Yeh Penet yang menatah tebing padas dengan berbagai kisahnya.
I Gusti Ayu Sumiyati (66) asal Banjar Menak Desa Bringkit telah dua kali datang ke tempat Beji Waringin Pitu. Saat ditemui di halaman parkir Beji, ibu dua anak memberikan testimoni “ Saya datang ke sini untuk melukat (meruwat) diri untuk kesehatan. Perasaan saya lebih baik dan segar setelah melukat di Beji ini”.
Amoring acintya Bapak Kandi juga merupakan mertua dari IR. I Made Arnata ini dikenal sebagai arsitek (undagi) eksentrik asal Desa Kapal itulah yang memberikan sentuhan seni-spiritualitas dalam keseluruhan arsitek Beji Waringin Pitu pada tahun 1996.
Beji Waringin Pitu secara arsitektural bertingkat tiga. Pada tingkat utama, terdapat dua pelinggih, yaitu Pelinggih Padma di bagian Timur dan Pelinggih Ida Ratu Manik Galih pada bagian Utara. Pada tingkat kedua ada campuhan, yaitu pertemuan tiga sumber air yang berasal dari arah utara, timur dan selatan beji. Pertemuan air ini menyembulkan air (kelebutan) dalam kolam kecil yang diatasnya terdapat arca Dewi bertulis Sangyang Candra. Di atas arca ini terdapat relief kendi (cupu manik). Dan, di sebelah kiri Arca Dewi yang dianggap Dewi Gangga ini terdapat tiga jejeran arca resi dan disebelah kanannya terdapat 2 arca resi dan sebuah arca berbentuk raksasa, yaitu Prabhu Sukrasena.
Ir.I Made Arnata menjelaskan, pada cerita pewayangan, Sukrasena merupakan simbol dari seorang yang buruk rupa namun berhati mulia dan bekerja dengan giat, penuh kejujuran. Dihadapan 7 arca tersebut ada sebuah halaman kecil dan Arca kepala Penyu (Bedawangnala).
Jika dilihat dari depan maka kepala penyu itu berbentuk lingga seperti menyembul dari tanah. Dari samping, barulah tampak sebagai simbol kepala penyu dengan dua kaki yang disimbolkan menyangga gunung dan para rsi. Di sudut barat laut ditempatkan arca kuda putih yang ternyata simbol dari Kuda Onceswara. Secara keseluruhan areal ini menyimbolkan cerita pewayangan Mahabarata tentang pemutaran Mandara Giri, seperti yang terdapat pada cerita Adi Parwa.
Bangunan yang terbawah adalah Beji Waringin Pitu. Dari Beji Waringin Pitu inilah, beningnya kesucian aksara meluncur dan mengalir deras membilas tubuh dan kesadaran (Sang Jiwa).Sang arsitek, rupanya hendak mengajarkan filsafat air dan ketuhanan melalui aksara suci Bali, tentang : penciptaan aksara dan manusia serta bagaian-bagian tubuhnya. Proses ini bekerja dalam alam (bhuana agung) dan tubuh manusia (Bhuana Alit). Tampaknya gagasan ini banyak termuat dalam lontar Ganapati Tatwa.
Ida Bagus Jenewa
Air dalam kehidupan bermakna begitu besar dalam hidup dan dalam tubuh manusia. Dalam kehidupan, jika saluran air baik, maka kehidupan dapat berjalan dengan wajar.Begitu juga dalam tubuh manusia. Ida Bagus Anom Jenewa dari Griya Aseman Kapal menjelaskan proses itu bekerja dengan baik atau tidak semuanya diketahui dan dikendalikan melalui 7 lubang kehidupan manusia: kulit, mata, mulut, hidung, telinga, alat kelamin dan anus.Simbol relief pancuran dari paling kiri ke kanan yaitu:

1-ang-ung-windu nada simbol kulit pori

Pancuran ke 2-aksara mang simbolnya mata
(1) aksara nada windu (ang-ung) simbol panas dan udara, disimbolkan sebagai pori-pori kulit. Aksara ini menceritakan penciptaan kehidupan yang semula adalah kosong, melalui persenggamaan suci melahirkan kehidupan sebagaimana air memberikan kehidupan; (2) Aksara Chandra (mang) disimbolkan dengan mata;
(3) Aksara Ongkara (siwa) dan simbol mulut; (4) Aksara Mangkara (Iswara) dan simbol hidung; (5) Aksara Ungkara (wisnu, air) dan simbol telinga; (6) Aksara Akara (Brahma, ang/ah) disimbolkan dengan relief penis; (7) Aksara Akara (brahma, ang/ah) disimbolkan dengan anus . Keduanya manifestasi dari dualitas, feminin, maskulin, purusa-pradana , rwa bhinneda dan pelepasan, atau akhir.
Begitulah proses kehidupan ditujukan terakhir sebagai pelepasan duniawi (moksa). Bening Aksara di Beji Waringin Pitu menyucikan kembali semua kekotoran dan sedimen penderitaan manusia. Dengan memahami ini maka tujuan mencapai pembebasan diri diri dapat tercapai dengan baik.




Desa Adat Kapal Gelar Persembahyangan Bersama Hari Galungan

Desa Adat Kapal Gelar Persembahyangan Bersama Hari Galungan

Desa Adat Kapal Gelar Persembahyangan Bersama Hari Galungan

Persembahyangan secara bersama saat Hari Suci Galungan oleh Krama Desa Adat Kapal di Pura Puseh dan Desa, Desa Adat setempat, Rabu (1/11).

KAPAL, POS BALI – Persembahyangan saat Hari Suci Galungan di Pura Desa dan Puseh Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung, Rabu (1/11) lalu sedikit berbeda dari persembahyangan Galungan sebelumnya. Jika sebelumnya persebahyangan dilakukan secara mandiri, pada Galungan kali ini wajib dilakukan secara bersama-sama.
Menurut Jro Bendesa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana, hal dilakukan agar warga dapat beriteraksi satu dengan yang lainnya. Ia menyebutkan, Desa Adat Kapal memiliki 2.500 KK dan lebih dari 15 ribu jiwa.
“Jika sebelumnya, warga datang langsung sembahyang sendiri-sendiri, setelah itu langsung kembali. Galungan ini kami lakukan secara bersama yang dipimpin langsung oleh pemangku dan prajuru adat. Ini agar persembahyangan lebih tertib dan terjadi interaksi antara warga,” katanya.
Selain itu, penulis buku adat dan agama Hindu ini menekankan agar umat dapat menjadikan pura tidak hanya sebagai tempat untuk melakukan persembahyangan. Akan tetapi, juga memaknai sebagai tempat pendidikan dan sebagai artefak sosial untuk sosialisasi dan interaksi antar krama desa. Terbukti, persebahyangan yang dimulai pukul 06:00 hingga 15 kali sesi itu berlangsung tertib.
“Saya mengajak agar persembahyang dilakukan dengan lebih tertib lagi. Kalau dulu krama lanang langah-langan ke pura, (laki-laki jarang-jarang ke pura), sekarang dengan sistem yang baru dengan diumumkan persembahayang bersama, sudah banyak yang sembahyang khusunya krama lanang,” sebut Sudarsana.
Tidak hanya di Pura Desa dan Puseh, persembahyangan di pura lain di wilayah Desa Adat Kapal juga dilakukan hal serupa. Meski saat persembahyangan Galungan tidak diisi dengan dharma wacana. “Dharma wacana diberikan biasa saat piodalan. Kalau saat Galungan tidak. Ini agar krama memiliki cukup waktu untuk bersembahyang di pura-pura lainnya,” ujar Bendesa yang menjabat sejak Januari 2017 ini. 
SUMBER:https://www.posbali.id/desa-adat-kapal-gelar-persembahyangan-bersama-hari-galungan/

Ada Patung Gajah Ratusan Tahun di Pura Beji Langon Kapal

Ada Patung Gajah Ratusan Tahun di Pura Beji Langon Kapal

Ada Patung Gajah Ratusan Tahun di Pura Beji Langon Kapal
INDAH: Beji Langon di Desa Kapal ini dibuat begitu indah. Memang sebagian besar sudah berumur ratusan tahun. Namun ditambah lagi dengan patung – patung yang membuat suasana Pura Beji indah dan nyaman.


BALI EXPRESS, MENGWI - Pura Beji Langon terletak di sisi Tukad Penet Banjar Langon Desa Adat Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Jika dilihat dari arsitekturnya, terlihat sangat unik, Pura yang bisa diakses dari jalan Pura Sadha, ini memiliki susunan bangunan yang terdiri dari batu padas yang diperkirakan umurnya mencapai ratusan tahun.
Bahkan Pura ini juga pernah diteliti oleh Dinas Kepurbakalaan. Namun sayang hingga saat ini pemangku Pura Beji Langon belum mengetahui apakah pura ini termasuk situs purba kala atau tidak. Menurut Pemangku Pura Beji Langon, I Gusti Ngurah Wirawan, bagi masyarakat Banjar adat Langon dan Desa Adat Kapal pada khususnya, Pura Beji Langon ini merupakan pura yang berfungsi sebagai lokasi pesucian Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Kapal yakni Pura Desa, Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Dalem Gunung Desa Adat Kapal. “Selain itu Pura Beji ini juga sebagai tempat untuk melukat Bayuh Oton,” jelasnya.
Pura Beji ini memiliki beberapa sumber air, yang memiliki fungsi berbeda, seperti yang dijelaskan Mangku Wirawan lebih lanjut, untuk pesucian Ida Bhatara, sumber air yang digunakan adalah sumber air yang berada di sisi utara pura. Untuk proses pengelukatan, sumber air yang digunakan adalah sumber air yang ada di kolam utama, sedangkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat, sumber air yang digunakan adalah sumber air yang berasal dari Gua yang ada di tebing batu padas yang terletak di sisi selatan pelinggih utama Pura Beji.
Selain memiliki beberapa sumber air, keunikan lain dari Pura Beji ini juga terlihat dari segi arsitektur dari Pura Beji Langon. Meskipun sudah sempat direnovasi pada tahun 2006 lalu, namun secara keseluruhan arsitektur di Pura Beji Langon ini masih menggunakan arsitektur aslinya.
Karena renovasi yang dilakukan hanya untuk memperluas areal dari Pura Beji Langon dengan cara membersihkan areal pura dan masangkan batu sikat pada lantai dasar pura Beji. “Renovasi yang dilakukan hanya untuk membersihkan areal ini saja, dari segi bangunan pelinggih dan ornament yang ada masih menggunakan arsitektur aslinya,” papar Mangku yang menjadi pemangku sejak tahun 2009 lalu ini.
Adapun keunikan dari arsitektur Pura Beji Langon yang menurut Mangku Wirawan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14 lalu ini, adalah seluruh palinggih yang ada di Beji ini terbuat dari batu padas (paras). Selain terbuat dari batu padas, seluruh ornament di Pura Beji ini juga merupakan patung dan relief kuno, dan ada satu patung yang paling mencolok dan terletak di sisi selatan Pura, yakni patung Gajah dengan tinggi lebih dari tiga meter dan panjang sekitar lima meter.
Patung gajah ini cukup unik, selain memiliki belalai yang pendek dibandingkan gajah pada umumnya dengan gigi serta gading yang tajam, selain itu pada bagian ekor gajah tidak seperti ekor gajah pada umumnya, tetapi lebih mirip pada ekor burung.
Menurut Wirawan, selain patung Gajah yang cukup unik, seluruh patung dan susunan arsitektur dari Pura Beji ini juga memiliki keunikan tersendiri, dimana rata-rata dari patung ini terbuat dari batu padas dengan detail dan ornament yang cukup tua. “Meskipun cukup tua, tapi dari Dinas Kepurbakalaan, belum bisa memastikan berapa angka tahun dari Pura ini,” paparnya.
Namun demikian, Mangku Wirawan menceritakan jika dari cerita turun temurun yang diterimanya dari almarhum kakeknya, pura ini memang sudah ada sejak jaman dahulu dan sejak dahulu pura ini sudah berfungsi sebagai tempat pesucian Ida Bharata yang berstana di Pura Kahyangan Tiga desa Adat Kapal.
Piodalan di Pura Beji Langon ini jatuh pada Hari Rabu Paing Wuku Kelawu, untuk prosesi piodalan ini, yang menjadi pengempon pura adalah Desa Adat Kapal, sehingga seluruh upakara piodalan dipersembahkan oleh Desa adat Kapal.
Selain sebagai tempat Pesucian Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan Desa Adat Kapal, Pura Beji Langon ini juga sering digunakan sebagai tempat pesucian mana kala masyarakat Desa Adat Kapal menyelenggarakan karya baik itu ngenteg Linggih, dan karya besar lainnya. “Biasanya bagi yang melakukan karya, sebelum melakukan ritual ngunya Ida Bhatara melakukan pesucian di Pura ini, setelah itu baru melanjutkan ke Prosesi selanjutnya,” ungkap Mangku Wirawan.
Dengan demikian, diakui Wirawan, Pura Beji Langon ini memiliki fungsi penting bagi kegiatan ritual dan keagamaan masyarakat Desa Adat Kapal dan sekitarnya. Sehingga tempat ini menjadi salah satu Pura Beji yang diempon oleh krama Desa adat Kapal. 
SUMBER:https://www.jawapos.com/baliexpress/read/2017/10/22/21559/ada-patung-gajah-ratusan-tahun-di-pura-beji-langon-kapal

Pura Kepuh Kembar Kapal

Pura Kepuh Kembar Kapal

Pura Kepuh Kembar tidak hanya sarat dengan sejarah perjalanan  pejabat ksatria di zamannya, yaitu Ida Dalem Solo dan Ida Dalem Putih Jimbaran. Tetapi juga mempunyai berbagai keunikan. Mulai dari mohon anak, matamba sampai disebut menabar aura magis, sehingga kondisi kahyangan tetap terjaga dan memberikan anugerah. Siapa sebenarnya Dalem Putih itu dan kegaiban apa saja yang terdapat di pura ini?



Pura Dalem Solo atau yang lebih dikenal dengan nama Pura Kepuh Kembar itulah nama sebuah pura yang berada di lingkungan Banjar Belulang, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Di tempat ini Dalem Putih pernah beristirahat sekembalinya dari Jawa sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju. Beliau sempat membuat pemujaan untuk memuja Ida Bhatara Dalem Solo. Di sini juga tumbuh dua pohon kepuh berjejer, sehingga masyarakat kemudian menyebut tempat ini dengan nama Pura Kepuh Kembar.
Konon, sebelum dibuatkan jalan, tempat ini sangat terasing dan sangat sepi. Di sebelah barat terdapat jurang dengan kedalaman kurang lebih seratus meter. Jurang itu merupakan sebuah pangkung (sungai kecil) dan ditumbuhi berbagai jenis pohon kayu yang cukup rindang menambah keangkeran tempat itu.
Di sekitar lokasi ini juga terdapat goa peninggalan tentara Jepang serta terdapat Beji/pesiraman Ida Bhatara di Pura Kepuh Kembar dan Pura Pucak Manik Mas. Di jaba sisi pura terdapat setra bajangan serta di seberang timur jalan terdapat Pura Dalem Bajangan. Pohon kepuh kembar ini begitu menjulang tinggi sehingga pohon ini terlihat dari kejauhan.
Begitu sampai di areal pura, aura gaib sangat terasa, di samping karena pepohonan yang sangat rindang, memang secara niskala tempat ini di jaga berbagai jenis ancangan/para rarencang. Pantauan TBA, setiap orang yang melewati tempat ini tak lupa membunyikan klakson kendaraannya untuk memohon keselamatan.
Banyak dari mereka yang percaya, menyempatkan diri menghaturkan rarapan atau hanya dengan canang sari. Pura Kepuh Kembar ini terdiri dari dua mandala yakni utama mandala dan madya mandala.
Pohon kepuh ini tumbuh di tengah-tengah, sehingga sekaligus menjadi pemisah antara Utama Mandala dengan Madya Mandala. Di depan paduraksa terdapat dua buah patung dengan perangai cukup menyeramkan, selanjutnya di Madya Mandala terdapat dua buah palinggih yang terdapat di masing-masing pohon kepuh itu.
Pun, dilengkapi dua buah patung macan, serta satu buah bangunan yakni bale pasandekan. Sementara di utamaning madala terdapat satu buah Palinggih Gedong sebagai stananya Ida Bhatara Pura Dalem Solo/Pura Kepuh Kembar, satu buah Palinggih Papelik. Di bawah kedua palinggih itu juga terdapat satua buah Palinggih Ketekan, sebagai stananya pengamong Wong Samar.
Di sekitar palinggih itu juga terdapat pohon pule yang di bawahnya terdapat satu palinggih dan dua buah patung bojog, sebagai tempat para rarencang. Di sini terdapat dua buah bangunan, satu Bale Pesantian dan satu Bale Sambiangan.
Krama yang lewat di tempat ini, cukup menghaturkan rarapan di palinggih pengayatan yang terdapat di Madya Mandala. Banyak juga yang menghaturkan rarapan di patung yang ada di depan paduraksa.
Sejarah awal keberadaan pura ini, menurut Ketut Sudarsana, praktisi sekaligus penulis lontar ini, nama pura yang kini dikenal dengan nama Pura Kepuh Kembar ini, sebenarnya bernama Pura Dalem Solo. Tetapi karena di tempat ini tumbuh dua pohon kepuh secara berdampingan, sehingga masyarakat menyebut tempat ini dengan nama Pura Kepuh Kembar. Pura ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-14, demikian juga halnya pohon kepuh itu diperkirakan ada sejak abad itu.
Lebih lanjut bapak dua orang putri ini menceritakan, jika dilihat dalam konteks babad, keberadaan pura ini diawali dengan perjalanan Beliau Dalem Putih Jimbaran menuju ke tanah Jawa, tepatnya menuju Solo. Setelah sampai di Solo, karena suatu alasan tertentu Ida Dalem  Solo saat itu, tidak mengizinkan Dalem Putih Jimbaran tinggal di Solo. Sehingga beliau kembali ke Bali. Sesampainya di Bali Ida Dalem Putih Jimbaran menepi di Pantai Seseh.
Suami Ni Wayan Miyasa ini lebih jauh menceritakan, selanjutnya Ida Dalem Putih Jimbaran melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara melewati jalan setapak di tengah hutan. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan itu, Ida Dalem Putih Jimbaran memutuskan mencari tempat yang tepat digunakan sebagai tempat masandekan (beristirahat). Dengan kekuatan bhatin yang dimiliki, Ida Dalem Putih Jimbaran menemukan tempat yang cocok sebagai tempat istirahat yakni di tempat Pura Kepuh Kembar sekarang.
Tidak diceritakan berapa lama Beliau berada di tempat ini, tetapi Beliau sempat  melakukan tapa, yoga, semadhi serta membuat pemujaan untuk memuja Ida Dalem Solo. Untuk mengingatkan/mengenang  perjalanan Beliau datang dari Solo, serta untuk memuja Ida Dalem Solo, lanjut pria kelahiran tahun 1955 ini, di tempat peristirahatan beliau membangun tapa, yoga, semadhi itu, Beliau membuat pemujaan yang kemudian bernama Pura Dalem Solo atau yang lebih terkenal dengan nama Pura Kepuh Kembar.
Lebih lanjut pria murah senyum yang kini tinggal di Banjar Basang Tamiang ini mengatakan, sebelum Beliau sampai di sebelah selatan Kuta dan menghembuskan nafas terakhirnya, Ida Dalem Putih Jimbaran sempat beristirahat di Pura Selunding dan Pura Sada yang berada di lingkungan Desa Kapal. Karena kemampuan spiritualnya yang telah mencapai kesempurnaan, oleh para pengikutnya di bangun sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Prasida.
“Ida Dalem Putih Jimbaran sendiri sebenarnya adalah bernama Ida Wayan Petung Gading. Tetapi karena dalam prosesi kehidupannya lebih banyak melakukan prosesi dengan cara melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi, sehingga diberi nama Ida Dalem Putih Jimbaran,” papar Ketut Sudarsana mengaku sering membantu umat Hindu di luar Bali, seperti Jawa, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lainnya.
Taksu Nunas Rare
Setiap pura memiliki keunikan, getaran gaib, serta taksu berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian halnya Pura Kepuh Kembar ini. Percaya atau tidak, Ida Bhatara di Pura Kepuh Kembar ini dikenal sangat bares (pemurah) terutama bagi pasutri yang lama tidak memiliki momongan (anak). Seperti diungkapkan Jro Mangku Desa Made Sedana, pemangku Pura Desa sekaligus sebagai pemangku di Pura Pucak Manik Mas serta di Pura Kawitannya.
Banyak yang telah membuktikan hal itu, ada dari mereka telah menikah 10 tahun tidak punya anak, tetapi setelah memohon dengan tulus di pura ini akhirnya bisa punya anak, bahkan sampai kebablasan. Mereka yang terkabul permohonannya ada yang menghaturkan kaul pajeng, kain putih-kuning, hingga babi guling.
Hal itu juga dibenarkan  Luh Ringan, orangtua Jro Mangku Made Sujana, juru sapuh di Pura Kepuh Kembar ini. Ditambahkannya, di antara Palinggih Gedong dan Palinggih Papelik itu ada sebuah Palinggih Ketekan yang diyakini stananya Pangemong Wong Samar. Biasanya, lanjut perempuan lanjut usia ini, setiap kali Krama Desa Kapal maduwe karya tidak lupa memohon keselamatan di Palinggih Ketekan ini, karena jika tidak, mereka akan selalu diganggu oleh Wong Samar. Mereka akan selalu kekurangan padahal sebelumnya sudah dihitung dengan tepat.
Lebih lanjut, Jro Mangku Desa  Made Sedana pensiunan guru SD ini mengatakan, Pura Dalem Solo/Pura Pura Kepuh Kembar ini diemong oleh Desa Pakraman Kapal. Pemangku yang ngayah di Pura Kepuh Kembar ini adalah masih keluarganya bernama Jro Mangku Made Sujana menggantikan ayahnya.
Pria kelahiran tahun 1938 ini memaparkan, di lokasi pura ini dikenal sangat angker, karena tempat ini dijaga ancangan berbagai jenis. Yang menjadi korban biasanya mereka yang sering melewati tempat ini dan tidak membunyikan klakson kendaraannya dan tidak pernah menghaturkan rarapan.
Para ancangan dan rarencang Ida Bhatara di kedua pura ini sering menampakkan wujudnya baik berupa binatang, maupun regektunggek (wanita cantik dengan punggung bolong). Sesuai pengamatan TBA jalan di lokasi pura ini berbentuk seperti tanduk Sapi, sehingga sangat rawan terjadi kecelakaan. Terutama mereka yang tumben melewati jalan ini. Hampir setiap minggu terjadi kecelakaan.
“Bahkan dulu pernah ada dua orang dengan kecepatan tinggi menabrak leneng tiang hingga salah satu dari mereka meninggal di tempat,” ujar Jro Mangku Desa seraya mengenang peristiwa itu.
Rarencang Ida Bhatara di Pura Kepuh Kembar ini yang berbentuk ular merah kembar sering malancaran ke rumahnya, tetapi tidak mengganggu. Setelah diberitahu ular kembar itu akan pergi dengan sendirinya. Selain ular kembar, juga pernah muncul ular poleng dan ular cobra berbadan pendek. Biasanya, urai Jro Mangku yang mengaku memiliki istri dua, yakni Ni Nyoman Parti dan Ni Nyoman Lidriani ini mengatakan, biasanya kemunculan ular poleng dan ular cobra serta regektunggek itu sebagai pertanda, akan terjadi sesuatu di tempat ini seperti kecelakaan yang meminta korban jiwa.
“Tiang himbau kepada krama yang kebetulan atau sering melewati tempat ini, agar selalu ingat membunyikan klakson kendaraannya sebagai pertanda minta izin karena ancangan dan rarencang Ida sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Lebih baik lagi jika sempat menghaturkan rarapan atau sekadar canang sari,” ujar Jro Mangku menegaskan.
Di Pura Manik Mas Genah Nunas Tamba
Selain Pura Kepuh Kembar, di sekitar lokasi pura itu tepatnya di atas Pura Kepuh Kembar terdapat pura yang bernama Pura Pucak Manik Mas. Pura ini, kata Jro Mangku Desa Made Sedana, sejak panglingsirnya ngayah menjadi juru sapuh,  awalnya, panglingsirnya pernah menderita penyakit sisik dongkang.
Di mana badannya bersisik sehingga tidak berani keluar rumah. Selanjutnya panglingsirnya terus dengan tulus nunas ica (memohon kesembuhan) kepada Ida Bhatara di Pura Pucak Manik Mas. Setiap malam selalu bersemadhi di sana, sampai akhirnya suatu malam didatangi rangda. “Ketika itu panglingsir tiang terus meminta agar Ida Bhatari membunuh, karena tidak sanggup menanggung penderitaan itu,.
Tetapi Ida Bhatari itu tidak mau mengabulkan permohonan panglingsir tiange melainkan menyuruh datang ke pemangku Pura Selunding untuk meminta obat,” jelas Jro Mangku Desa mengutip cerita panglingsirnya. Sesampainya di rumah Jro Mangku Pura Selunding, diberikan suatu benda berupa batu dipakai sebagai sarana untuk menggosok penyakitnya itu.
Benar saja, berselang tiga hari kemudian penyakit sisik dongkang yang diderita sebelumnya hilang secara tiba-tiba, dan badannya kembali seperti semula. Mulai saat itu panglingsirnya ngayah menjadi juru sapuh di Pura Pucak Manik Mas hingga sekarang secara turun temurun. Banyak krama yang sebelumnya menderita berbagai penyakit sembuh setelah dengan tulus ikhlas nunas ica (memohon) kesembuhan di pura ini.
“Tiang bukan promosi, tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Tetapi harus dengan keyakinan dan kepercayaan yang tinggi. Di samping itu juga sangat tergantung jodoh seseorang dengan tempat itu,” jelas bapak tiga putra dan tiga putri ini mengakhiri. 

18 Banjar se-Desa Kapal Bersatu, 'Satu Jalur' Menangkan KBS-ACE

Deklarasi 18 Banjar se-Desa Kapal

18 Banjar se-Desa Kapal Bersatu, 'Satu Jalur' Menangkan KBS-ACE

sumber foto :Tim KBS-ACE
Baliberkarya.com-Badung. Pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Dr.Ir. Wayan Koster, MM - Dr.Ir.Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati atau yang dikenal dengan pasangan KBS-ACE disambut ribuan masyarakat Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. 
Tabuhan baleganjur, barong serta tarian kreasi garapan komunitas seni Pancer Langit menyambut kehadiran KBS-ACE yang hadir didampingi Ketua Tim Pemenangan KBS-ACE Provinsi Bali I Nyoman Giri Prasta, Ketua Tim Pemenangan KBS-ACE Kabupaten Badung I Gusti Anom Gumanti, jajaran pengurus partai pengusul dan pendukung, tampak juga hadir I Bagus Alit Sucipta (Gus Bota) dengan gerbongnya Semeton GB.
Bendesa Adat Kapal Ketut Sudarsana beserta 18 Kelian Banjar Adat se-Desa Adat Kapal menyambut kehadiran KBS-ACE. Sejumlah tokoh masyarakat Desa Adat Kapal seperti I Nyoman Ardana juga tampak hadir diantara ribuan massa yang memenuhi wantilan Desa Adat Kapal. Tari Dedari Sampian Emas, yang dibawakan para penari dari Komunitas Pancer Langit menjadi tarian penyambutan. Kapal Bersatu Selamanya (KBS) satu jalur mendukung KBS-ACE lantang disampaikan oleh Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana dalam sambutannya.
 "Kita sudah sepakat memenangkan bapak Wayan Koster dan Bapak Cok Ace sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Bali. Jangan sampai berbohong, kita harus satya wacana. Apa siap melaksanakan," tanya Sudarsana dengan suara lantang. "Siapp...,"dijawab serentak oleh masyarakat yang hadir.

Sebagai bukti dukungan kata dia, akan di deklarasikan kebulatan tekad dari 18 Banjar se-Desa Adat Kapal yang disampaikan oleh masing-masing Kelian Banjar Adat. Jika nanti KBS-ACE mieminpin Bali, dirinya berharap akan pelestarian adat dan budaya ditingkat anak-anak kembali dibangkitkan. Karena selama ini pelestarian adat dan budaya ditingkat anak-anak sering diabaikan. 
Pada kesempatan berikutnya dilaksanakan deklarasi dari 18 Banjar se-Desa Adat Kapal, yaitu Banjar Panglan Baleran, Banjar Panglan Delodan, Banjar Uma, Banjar Celuk, Banjar Cepaka, Banjar Basang Tamiang, Banjar Titih, Banjar Pemebetaan, Banjar Gangga Sari, Banjar Peken Baleran, Banjar Peken Delodan, Banjar Langon, Banjar Muncan, Banjar Gegadon, Banjar Tambak Sari, Banjar Belulang, Banjar Tegal Saat Baleran dan Banjar Tegal Saat Delodan. Sat per satu kelian Banjar menyampaikan kebulatan tekad. 
"Kami warga Banjar Adat Banjar Uma siap memangkan KBS-ACE dengan target kemenangan lebih dari 80 persen. Buktikan nanti, salam satu jalur, KBS-ACE menang," ujar Kelian Banjar Adat Uma I Wayan Sukarya. 
Rata-rata Banjar Adat menjanjikan 80 persen kemenangan, bahkan ada yang memasang angka 90 persen kemenangan untuk KBS-ACE. Besarnya dukungan dari masyarakat Desa Adat Kapal diapresiasi oleh Ketua Tim Pemenangan KBS-ACE Kabupaten Badung I Gusti Anom Gumanti. 

"Luar biasa, terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Adat Kapal atas dukungannya kepada KBS-ACE. Jangan setengah-setengah, rapatkan barisan dalam satu jalur memenangkan KBS-ACE,"katanya. 
Hal senada juga disampaikan Ketua Tim Pemenangan KBS-ACE Provinsi Bali I Nyoman Giri Prasta. Kekompakan masyarakat dari 18 Banjar Adat se-Desa Adat Kapal membuktikan besarnya keinginan masyarakat memiliki pemimpin Bali yang metaksu, yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Bali. 
Masyarakat Desa Adat Kapal diajak bersama-sama berjuangan memangkan KBS-ACE agar bisa mewujudkan sejumlah program pro rakyat seperti melanjutkan program kesehatan gratis JKBM dan pendidikan gratis 12 tahun untuk seluruh masyarakat Bali, seperti yang telah dilaksanakan di Badung.
Sementara itu, KBS-ACE dalam sambutannya juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Adat Kapal atas penyambutan dan dukungannya. Dengan visi "NANGUN SAT KERTHI LOKA BALI” Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana, yang mengandung makna; menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, KBS-ACE ingin mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sekala-niskala menuju kehidupan krama dan gumi Bali sesuai dengan prinsip Trisakti Bung Karno: Berdaulat secara Politik, Berdikari Secara Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan.


 
Jalan itu ditempuh melalui pembangunan secara terpola, menyeluruh, terencana, terarah, dan terintegrasi di seluruh wilayah Bali  dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. KBS-ACE juga telah menyiapkan sejumlah program unggulan diantaranya, mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat yang terjangkau, merata, adil dan berkualitas serta didukung dengan pengembangan sistem dan data base riwayat kesehatan Krama Bali berbasis kecamatan yang diselenggarakan secara terintegrasi di seluruh Bali. Menerapkan sistem jaminan kesehatan gratis bagi Krama Bali seperti JKBM dengan memperbaiki konsep dan tata laksananya dalam format KBS (Krama Bali Sehat). 
 
KBS yang tiga periode duduk di Komisi X DPR RI, juga ingin memastikan tersedianya pelayanan pendidikan yang terjangkau, merata, adil, dan berkualitas, dengan melaksanakan wajib belajar 12 tahun (SD, SMP dan SMA/SMK) secara gratis bagi anak-anak se-Bali. 
 
KBS juga telah menyiapkan dan akan melaksanakan kebijakan lainya di bidang kemandirian pangan, pendidikan berbasis agama hindu, memajukan kebudayaan Bali melalui pelindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai adat, agama, tradisi, seni, dan budaya krama Bali.(BB).

SUMBER;https://baliberkarya.com/index.php/read/2018/01/18/201801180010/18-Banjar-seDesa-Kapal-Bersatu-39Satu-Jalur39-Menangkan-KBSACE.html




Inventarisasi Cagar Budaya di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali

Inventarisasi Cagar Budaya di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali

Dalam kegiatan inventarisasi di Desa Kapal dilaksanakan selama lima hari yang dimulai dari tanggal 21 s.d 25 Februari 2015 yang diketua oleh I Gusti Agung Gede Artanegara, S.Kom. Inventarisasi Cagar Budaya ini berlokasi di Pura Purusada Kapal, dengan alamat :
  1. Alamat : Banjar Pemebetan, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Propinsi Bali.
  2. Koordinat : 50 L 0299892 UTM 9051384 dpl 144 m
Struktur halaman pura terdiri dari tiga bagian, yaitu halaman luar (nista mandala), halaman  tengah (madya mandala) dan halaman utama (jeroan). di halaman utama terdiri dari 27 buah bangunan. Sejarah berdirinya Pura Purusada Kapal terdiri dari beberapa versi. Versi pertama diceritakan Pada Zaman Majapahit diceritakan ada seorang  anggota keluarga raja Majapahit bernama Jayengrat beserta pengikutnya menyeberangi segara rupek dengan perahu menuju lautan bebas. Dalam perjalanannya perahu mereka kandas dan terdampar di sebuah tempat, dan selanjutnya mereka bermukim pada tempat itu, yang diperkirakan bernama  desa kapal  sekarang. Untuk memuja roh leluhur Jayengrat di tempat ini maka didirikanlah sebuah tempat persembahyangan dengan nama Pura Sada (Monografi Desa Adat Kapal). Sedangkan Versi kedua dalam ceritra sejarah kerajaan Mengwi disebutkan bahwa akibat dari peperangan antara kerajaan Mengwi dengan  Negari dan Sukawati gugurnya putra raja Mengwi bernama I Gusti Agung Ratu Panji, distanakan di Pura Sada Kapal diabadikan dalam bentuk bangunan pelinggih Ratu Panji Sakti), dan pengikutnya diabadikan dalam bentuk bangunan Mesatya berjumlah 61 buah serta 3 orang pemimpinnya dalam bentuk Mekel Mesatya.
Terlepas dari versi diatas, Pura Purusada Kapal memiliki tinggalan arkeologi yang cukup banyak, salah satunya adalah Prasada (1 buah) yang memiliki tinggi sekitar 17,20 meter yang terbuat dari bahan bata. fungsi prasada sendiri sebagai tempat pemujaan sekaligus sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci (pratima). Selain prasada terdapat juga Arca Perwujudan, Arca Binatang, Arca Pewayangan, Candi Bentar, Tugu Bala Satya dan Mekel Satya.
Prasada Pura Purusada Kapal
Tugu Bala Satya dan Mekel Satya merupakan simbolisasi dari pengikut setia dari Putra Raja Mengwi yang berjumlah 64 buah.
Tugu Mekel Satya
sumber;https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/2017/07/06/inventarisasi-cagar-budaya-di-desa-kapal-kecamatan-mengwi-kabupaten-badung-propinsi-bali/

Pura Sada desa Kapal Mengwi

Pura Sada desa Kapal Mengwi

Pura Sada desa Kapal Mengwi

Salah satu pura kahyangan jagat yang terkenal di Desa Kapal, Mengwi, Badung adalah Pura Sada. Terletak di daerah pemukiman di Banjar Pemebetan Desa Kapal, Mengwi, Badung, lokasi pura ini mudah ditemukan. Masuk beberapa meter dari jalan utama jurusan Denpasar-Tabanan, umat sudah dapat melihat keberadaan pura yang konon dibangun tahun 830 Masehi itu. Lokasinya sekitar 15 km dari Denpasar. Salah satu pelinggih yang memiliki ciri khas tersendiri di utama mandala pura itu yakni Prasada. Bahkan, prasada dan candi bentar di pura ini diakui sebagai situs cagar budaya yang mesti dilindungi. Baru-baru ini prosesi upacara yang cukup besar sempat diselenggarakan di pura ini. Bagaimana sejarah Pura Sada?
================================================== =========
Menurut beberapa sumber, nama pura ini kemungkinan diambil dari pelinggih prasada yang terdapat di utamaning mandala. Prasada itu pelinggih yang berbentuk pejal bertingkat-tingkat seperti limas berundak. Di Bali bentuk candi seperti itu dikenal dengan Candi Raras.
Prasada itu tingginya mencapai 16 meter dengan atapnya bertingkat sebelas.
Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sanga. Delapan arca dewa distanakan di delapan arah pada atap pertama. Sedangkan arca Siwa diletakkan pada atap kedua di arah barat di atas arca Mahadewa.
Kapan pura ini dibangun, masih beragam versi. Berdasarkan bentuk prasada dan juga candi bentarnya yang memiliki kesamaan dengan langgam bangunan candi di Jawa Timur. Demikian juga bentuk bangunannya yang tinggi ramping serta kalamakara-nya tidak berahang di bawah, diperkirakan pura ini dibangun pada permulaan abad ke-16 Masehi. Tetapi, ada yang memperkirakan didirikan pada abad ke-12 Masehi dan 16 Masehi.
Namun, menurut analisis penekun lontar asal Kapal Ketut Sudarsana, pura ini dibangun pada kisaran tahun 830 Masehi.
Kata Sudarsana dan Nyoman Nuada — salah seorang keluarga pemangku Pura Sada — pura ini juga sering disebut Purusadha. Pura artinya tempat suci dan sada berarti bumi.
Pura Sada, kata Sudarsana, merupakan tempat pemujaan Siwa Guru. Dalam sastra agama disebutkan, Hyang Siwa memiliki tujuh orang murid. Murid yang paling pintar adalah Rsi Banu. Karena kepintarannya, Rsi Banu dianugerahkan gelar Aditya atau Raditya atau Siwa Guru.
Siwa Guru inilah yang dipuja di pura ini.
Rehab
Berdasarkan catatan sejarah, prasada ini sempat mengalami kerusakan akibat terjadi gempa dahsyat pada tahun 1917 di Bali. Akibat gempa, bangunan itu sempat mengalami kerusakan yang berat, tinggal dasarnya saja. Pada tahun 1949, prasada itu dibangun kembali.
Tetapi, menurut Sudarsana dan Nuada, pura ini sempat direhab beberapa kali. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dhalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Raja yang naik tahta pada tahun 1324 Masehi ini merupakan pemimpin Bali yang arif dan bijaksana. Perhatiannya terhadap kahyangan-kahyangan yang menjadi sungsungan umat di Bali cukup tinggi.
Nah, ketika Pura Sada diangap perlu direhab ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Bahkan, seusai menjalankan tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing), kata Nyoman Nuada, sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing se-wewidangan sebelah barat Tukad Yeh Ayung.
Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600-an. Pada tahun 1949 juga sempat direhab besar-besaran.
Tri Mandala
Seperti halnya Pura-pura yang lain di Bali, Pura Sada memiliki Tri Mandala yaitu utamaning mandala (jeroan), madianing utama (halaman tengah) dan nistaning mandala (jaba sisi). Di antara halaman tengah dan halaman utama terdapat candi kurung, sedangkan antara halaman tengah dengan jaba sisi terdapat candi bentar.
Di utamaning mandala terdapat pelinggih Padmasana, Pesimpangan Batara Gunung Batur, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Batara Manik Galih, Pelinggih Batara di Pura Sakenan, pelinggih atau candi Prasada, bale penyimpenan, bale pesambyangan, pawedan, bale piyasan, pelinggih Tri Murti, pesimpangan I Gusti Ngurah Celuk, Pesimpangan Ratu Made — Ratu Made Sakti Blambangan, pesimpangan Ratu Ngurah Panji Sakti, bale piyasan, pesimpangan Pura Teratai Bang dan sebagainya.
Pelinggih yang khas di pura ini adalah Prasada. Prasada itu merupakan pelinggih Ida Batara Pasupati atau Siwa Guru atau Sang Hyang Lingga Buwana atau Sang Hyang Druwaresi.
Sementara di madianing mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari Apuan-Tabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madianing mandala. Selanjutnya mengikuti prosesi upacara di jeroan.
Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.
Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali setiap Tumpek Kuningan dan nyejer selama tiga hari.
Pengemponnya warga masyarakat Desa Kapal yang terdiri atas 10 banjar adat yaitu Panglan Baleran, Panglan Delodan, Basang Tamiang, Banjar Uma, Cepaka, Celuk, Titih, Pemebetan, Gangga Sari, Peken Baleran, Peken Delodan, Langon, Muncan, Tambaksari, Gegadon, Tegal Saat Baleran, Tegal Saat Delodan dan Banjar Belulang. Saat ini warga Desa Kapal berpenduduk sekitar 10.646 jiwa dengan luas wilayah mencapai 6,62 km2. Sedangkan penyiwi-nya dari berbagai daerah di Bali. * subrata
64 Pelinggih Satya
PURA SADA, tempat suci Hindu yang memiliki peninggalan arkeologi. Karena itu Pura Sada Kapal salah satu pura yang termasuk cagar budaya.
Menurut Lontar Purwa Kandha Purana Kahyangan Purusada yang dipuja di Pura Sada adalah Sang Hyang Siwa Pasupati dan Dewi Manik Galih. Isi lontar itu kurang lebih berbunyi, ”Wangunan Candi sane dahat agung maluhur, pinaka linggih manira Sang Hyang Siwa Pasupati sareng Dewi Manik Galih.” Lontar itu juga menceritakan asal-usul Desa Kapal.
Selain pelinggih prasada di pura ini terdapat pelinggih satya yang jumlahnya 64 buah. Tiga buah di antaranya berukuran besar. Selebihnya, kecil-kecil. Pelinggih-pelinggih satya itu menghadap semua penjuru.
Bangun Sakti
Kata penekun lontar asal Desa Kapal Ketut Sudarsana, Pura Sada memiliki keterkaitan dengan Pura Dhalem Bangun Sakti yang juga berada di Desa Kapal. Misalnya jika Ida Batara di Pura Dhalem Bangun Sakti lunga ke Bale Agung, terlebih dulu mesti mendak Ida Batara di Pura Sada. Hal ini sudah menjadi keyakinan masyarakat secara turun-temurun. Jika di keluarga pemangku mengalami kacuntakan, ketika tapakan Ida Batara Pura Sada lunga ke Bale Agung maka pemangku di Pura Dhalem Sakti yang diperbolehkan nedunang pralingga Ida Batara Pura Sada. Demikian pula sebaliknya. (lun)
sumber:https://guzrah.wordpress.com/2011/04/12/pura-sada-desa-kapal-mengwi/

Kategori

Kategori