Ida Bagus Ngurah Suparsa. Pemangku
Beji Waringin Pitu
Pemangku dengan dua putra dan dua cucu ini juga menceritakan, konon dimasa lalu terdapat tujuh pohon beringin yang akarnya mengangkangi sungai dan mencapai sisi sungai yang lain. Akibat banjir bandang, yang tersisa sebatang pohon beringin dengan akar-akar yang tajam merajut permukaan tanah.Purchasing manager Hotel Bali Hyatt ini kemudian didaulat menjadi pemangku Beji Waringin Pitu, sejak tahun 2008 bersama istrinya Ida Ayu Ketut Sartini.
Beji Waringin Pitu diyakini masyarakat luas sebagai tempat suci bertuah untuk meruwat segala kemalangan manusia. Beji ini bukan tempat pemandian biasa.“Biasanya, masyarakat yang pertama kali melukat cukup membawa pejati dan kelapa seperti kelapa (bungkak nyuh gadang dan nyuh gading) ke Griya Aseman, setelah itu mereka bisa melakukan pelukatan di Beji” demikian Tuaji Mangku menyarankan.
Beji yang tersembunyi dalam rimbun beringin dan pohon besar lainnya ini menjadi tempat pemujaan Dewa Wisnu dan Betari Gangga. Dewi Gangga di Beji ini disebut sebagai Betari Manik Galih ketika menunjukkan kekuasaan mistiknya dalam bidang pengobatan (me-tetamba-an). Tidak heran jika, beji ini juga dikenal sebagai mata air penyembuh penyakit dan baik untuk kesehatan.
- Tukad Yeh Penet dari atas Beji Waringin Pitu
Beji ini juga memiliki keterkaitan erat dengan Dewi Durga yang berada di Pura Dalem Dukuh. Sehingga setiap ada odalan atau upacara besar di Pura Dalem, tempat ini disakralkan untuk menyucikan Dewi Durga, Penentu Akhir Kehidupan. Suasana mistik beji seperti larut dalam derasnya aliran sungai (tukad) Yeh Penet yang menatah tebing padas dengan berbagai kisahnya.
I Gusti Ayu Sumiyati (66) asal Banjar Menak Desa Bringkit telah dua kali datang ke tempat Beji Waringin Pitu. Saat ditemui di halaman parkir Beji, ibu dua anak memberikan testimoni “ Saya datang ke sini untuk melukat (meruwat) diri untuk kesehatan. Perasaan saya lebih baik dan segar setelah melukat di Beji ini”.
Amoring acintya Bapak Kandi juga merupakan mertua dari IR. I Made Arnata ini dikenal sebagai arsitek (undagi) eksentrik asal Desa Kapal itulah yang memberikan sentuhan seni-spiritualitas dalam keseluruhan arsitek Beji Waringin Pitu pada tahun 1996.
Beji Waringin Pitu secara arsitektural bertingkat tiga. Pada tingkat utama, terdapat dua pelinggih, yaitu Pelinggih Padma di bagian Timur dan Pelinggih Ida Ratu Manik Galih pada bagian Utara. Pada tingkat kedua ada campuhan, yaitu pertemuan tiga sumber air yang berasal dari arah utara, timur dan selatan beji. Pertemuan air ini menyembulkan air (kelebutan) dalam kolam kecil yang diatasnya terdapat arca Dewi bertulis Sangyang Candra. Di atas arca ini terdapat relief kendi (cupu manik). Dan, di sebelah kiri Arca Dewi yang dianggap Dewi Gangga ini terdapat tiga jejeran arca resi dan disebelah kanannya terdapat 2 arca resi dan sebuah arca berbentuk raksasa, yaitu Prabhu Sukrasena.
Ir.I Made Arnata menjelaskan, pada cerita pewayangan, Sukrasena merupakan simbol dari seorang yang buruk rupa namun berhati mulia dan bekerja dengan giat, penuh kejujuran. Dihadapan 7 arca tersebut ada sebuah halaman kecil dan Arca kepala Penyu (Bedawangnala).
Jika dilihat dari depan maka kepala penyu itu berbentuk lingga seperti menyembul dari tanah. Dari samping, barulah tampak sebagai simbol kepala penyu dengan dua kaki yang disimbolkan menyangga gunung dan para rsi. Di sudut barat laut ditempatkan arca kuda putih yang ternyata simbol dari Kuda Onceswara. Secara keseluruhan areal ini menyimbolkan cerita pewayangan Mahabarata tentang pemutaran Mandara Giri, seperti yang terdapat pada cerita Adi Parwa.
Bangunan yang terbawah adalah Beji Waringin Pitu. Dari Beji Waringin Pitu inilah, beningnya kesucian aksara meluncur dan mengalir deras membilas tubuh dan kesadaran (Sang Jiwa).Sang arsitek, rupanya hendak mengajarkan filsafat air dan ketuhanan melalui aksara suci Bali, tentang : penciptaan aksara dan manusia serta bagaian-bagian tubuhnya. Proses ini bekerja dalam alam (bhuana agung) dan tubuh manusia (Bhuana Alit). Tampaknya gagasan ini banyak termuat dalam lontar Ganapati Tatwa.
Ida Bagus Jenewa
Air dalam kehidupan bermakna begitu besar dalam hidup dan dalam tubuh manusia. Dalam kehidupan, jika saluran air baik, maka kehidupan dapat berjalan dengan wajar.Begitu juga dalam tubuh manusia. Ida Bagus Anom Jenewa dari Griya Aseman Kapal menjelaskan proses itu bekerja dengan baik atau tidak semuanya diketahui dan dikendalikan melalui 7 lubang kehidupan manusia: kulit, mata, mulut, hidung, telinga, alat kelamin dan anus.Simbol relief pancuran dari paling kiri ke kanan yaitu:
- 1-ang-ung-windu nada simbol kulit pori
Pancuran ke 2-aksara mang simbolnya mata
(1) aksara nada windu (ang-ung) simbol panas dan udara, disimbolkan sebagai pori-pori kulit. Aksara ini menceritakan penciptaan kehidupan yang semula adalah kosong, melalui persenggamaan suci melahirkan kehidupan sebagaimana air memberikan kehidupan; (2) Aksara Chandra (mang) disimbolkan dengan mata;
(3) Aksara Ongkara (siwa) dan simbol mulut; (4) Aksara Mangkara (Iswara) dan simbol hidung; (5) Aksara Ungkara (wisnu, air) dan simbol telinga; (6) Aksara Akara (Brahma, ang/ah) disimbolkan dengan relief penis; (7) Aksara Akara (brahma, ang/ah) disimbolkan dengan anus . Keduanya manifestasi dari dualitas, feminin, maskulin, purusa-pradana , rwa bhinneda dan pelepasan, atau akhir.
Begitulah proses kehidupan ditujukan terakhir sebagai pelepasan duniawi (moksa). Bening Aksara di Beji Waringin Pitu menyucikan kembali semua kekotoran dan sedimen penderitaan manusia. Dengan memahami ini maka tujuan mencapai pembebasan diri diri dapat tercapai dengan baik.
EmoticonEmoticon