SEJARAH DESA ADAT KAPAL
Sejarah Badung
Kabupaten Badung dulunya bernama Nambangan sebelum diganti oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad ke-18. Dengan memiliki keris dan cemeti pusaka Beliau dapat menundukkan Mengwi dan Jembrana hingga tahun 1810, dimana Beliau akhirnya diganti oleh 2 orang raja berikutnya. Kematian Beliau seolah olah sudah diatur oleh penerusnya, barangkali saudaranya, Raja Kesiman yang memerintah dengan mencapai puncaknya tahun 1829-1863. Ia dapat dipengaruhi oleh kekuatan dari luar Bali dan menggantungkan harapan kepada Pemerintah Belanda pada saat itu.
Belanda diijinkan Beliau untuk mendirikan stasiunnya di Kuta di tahun 1826, sebagai balasan atas kerjasama itu Beliau mendapatkan hadiah yang sangat indah. Seorang pedagang berkebangsaan Denmark, bernama Mads Johansen Lange yang datang ke Bali pada usia 18 tahun dan memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Belanda dan Bali dimana raja mendapat bagian yang cukup menarik. Mulai saat itu, Mads Lange yang lahir tahun 1806, dapat meningkatkan hubungan baik dengan raja-raja di Bali. Pada tahun 1856 Mads Lange sakit dan mohon pensiun serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat dan akhirnya dia dikubur di Kuta. Di samping itu Kuta juga dikenal sebagai tempat di mana Kapten Cornelis de Houtman dengan beberapa pengikutnya dihukum gantung tahun 1557, ketika 20.000 pasukan Bali kembali dari perjalanan mempertahankan Blambangan dari Kesultanan Mataram.
Di tahun 1904 sebuah kapal China berbendera Belanda bernama "Sri Komala" kandas di pantai Sanur. Pihak pemerintah Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak dan merampas isi kapal dan menuntut kepada raja atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Belanda mempersiapkan expedisi militernya yang ke-6 ke Bali pada tanggal 20 September 1906. Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan arteleri segera mendarat dan menyerang Kerajaan Badung.
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar, hingga mencapai pintu gerbang kota, mereka belum mendapatkan perlawanan yang berarti namun tiba-tiba mereka disambut oleh segerombolan orang-orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir). Dipimpin oleh raja para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena ajaran agamanya bahwa tujuan ksatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke sorga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan.
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar, hingga mencapai pintu gerbang kota, mereka belum mendapatkan perlawanan yang berarti namun tiba-tiba mereka disambut oleh segerombolan orang-orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir). Dipimpin oleh raja para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena ajaran agamanya bahwa tujuan ksatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke sorga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan.
Raja Badung beserta laskarnya yang dengan gagah berani dan tidak kenal menyerah serta memilih melakukan perang puputan akhirnya gugur demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan rakyat Badung. Beberapa hari kemudian Belanda pun menyerang Tabanan, dan kemudian di tahun 1908 Kerajaan Klungkung juga melakukan puputan dan dengan jatuhnya kerajaan Klungkung maka Belanda menguasai Bali sepenuhnya. Di tahun 1914 Belanda mengganti pasukan tentara dengan kepolisian sambil melakukan reorganisasi pemerintahan. Beberapa raja dicabuti hak politiknya, namun mereka tetap menjaga nilai kebudayaan dan raja pun masih berpengaruh kuat. Kota Denpasar yang terdiri dari 3 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Badung, sebelum ditetapkan sebagai Kota Madya pada tanggal 27 Februari 1993.
Sejarah Desa Adat Kapal
Selembar Sejarah
Ini adalah salah satu bait salinan lontar I GUSTI CELUK
Om Awighanam Astu Namo Siddyam
Nihan ketattwania I Gusti Celuk ,treh I Gusti Kaler ,Kesah ire mareng Gelgel , kepecat oleh Ide Dhalem Gelgel , ineman tankasaman ,apan polahire becik ,pradnyeng aji tattwa dyatmika ,sudhire ambekira, han pwa wakyan Dhalem ,Oh Kite Celuk sun utus pwa kite mara dahtengeng bhumya Sasak , anglwawadana punang Cakra Negara ,Hane pintang kwa pwa ring Kyayi Asak , didine pwa sire prapta ing kene,Sawur sembah Ki Gusti Celuk ,anedha kang kawule , amwit aris ,tandwa lungha ta sire mahawan benawa ,saksane prapteng sasak ,matur pwa sire maring Kyayi Asak ,om Kite Pangeran Asak ,ingsun wet inutus de Dhalem Gelgel
-Ge pwa kite lungha maraking Dhalem ,duh kite Celuk ,tan wihan pwa inghulun , dadya silih olih gocare padha medalaken madhe drawani gocare , dadya lupe wet kincaken ,gumantya 14 ratripwa sire ingkane , kepangin sire Kyayi Asak , atemu sabdha silih manisin padha silih olih kawyadnyanan ,dadya kapranan sire ing kana,holih angalap istri ,pasung Kyayi Asak ,dadya garbhini ,wus ike wawu menget Ki Gusti Celuk wet kinonkon de Dhalem , sigra pwa amwit mantuk maring Gelgel amereking Dhalem,wus prapte ing jeng Dhelem ,dadya mengis Dhalem tur pawuwus ,wetning bendunire ,praya rinuwek Ki Gusti Celuk ,menger pwa sire age
-Ge pwa kite lungha maraking Dhalem ,duh kite Celuk ,tan wihan pwa inghulun , dadya silih olih gocare padha medalaken madhe drawani gocare , dadya lupe wet kincaken ,gumantya 14 ratripwa sire ingkane , kepangin sire Kyayi Asak , atemu sabdha silih manisin padha silih olih kawyadnyanan ,dadya kapranan sire ing kana,holih angalap istri ,pasung Kyayi Asak ,dadya garbhini ,wus ike wawu menget Ki Gusti Celuk wet kinonkon de Dhalem , sigra pwa amwit mantuk maring Gelgel amereking Dhalem,wus prapte ing jeng Dhelem ,dadya mengis Dhalem tur pawuwus ,wetning bendunire ,praya rinuwek Ki Gusti Celuk ,menger pwa sire age
-Larud sagrehan tekeng anak rabinia,angulwan amurung murangalku lampahire ,prapte pwa sireng wane tepi siring ing Tambangan akulen pwa ingkane tekeng sura 4 wiji sidandah de Ki Arya Kenceng dadya ta sinung sutanire sawiji kanga name Ki Mangga ,ineman pwa sire ingkane sinang wadwa 40 ,teher amurang laku mungsi bhumi Kapal sinayut de Ki Gusti Agung
yang diartikan sbb:
Ini adalah kisah I GUSTI CELUK keturunan I GUSTI KALER ia meninggalkan Gelgel karena ada kesalah pahaman antara Ki Gusti Celuk terhadap Dhalem Gelgel ,namun demikian beliau menunjukan sikap sebagai seorang kesatria hal itu disebabkan karena pikirannya selalu jernih ,serta sangat menguasai ilmu kediatmikan ,berprilaku amat berani ,suatu ketika Dhalem Gelgel bersabda hei engkau Celuk Aku mengutus dirimu untuk pergi keSasak (Cakra Negara ) ada permintaanku kepada Kyayai Asak agar ia datang mengadap Diriku , setelah demikian sabda Dhalem ,Ki Gusti Celuk menghaturkan sembah sebagai tanda hormat dan bakti terhadap perintah Dhalem , jika demikian Paduka Raja hamba akan melaksanakan perintah paduka sekarang juga hamba mohon pamit achirnya pergilah Ki Gusti Celuk keSasak menyebarangi lautan , sampai tiba di tanah sasak serta bertemu dengan Kyayi Asak ,dalam penghadapan tersebut berkatalah Ki Gusti Celuk kepada Kyayi Asak ,Om Kite Pangeran Asak kedatangan Saya tiada lain sebagai utusan Dhalem yang intinya agar Kyayi Asak segera menghadap Dhalem Gelgel .
Hei Engkau Celuk jika demikian saya tidak menolak titah paduka Dhalem untuk menghadap ke Gelgel ,namun didalam pertemuan kedua tokoh , itu saling membicarakan pengalamannya masing-masing ,karena jarang bisa bertemu sehingga pembicaraannya semakin mengasikkan sebagai luapan Ki Gusti Celuk dirinya sebagai utusan Dhalem membicarakan ilmu pengetahuan agama serta bertukar pikiran tentang ilmu kediatmikan ,sampai empat belas hari lamanya Ki Gusti Celuk berada di Sasak ,dalam kurun waktu tersebut Ki Gusti Celuk mempersunting seorang wanita amat cantik yang merupakan pemberian dari Kyayi Asak ,saat istrinya hamil barulah sadar Ki Gusti Celuk ingat akan perintah Dhalem Gelgel sebagai utusan Dhalem,maka segera ia meninggalkan Sasak menuju kerajaan Gelgel , untuk menghadap Dhalem ,setibanya dalam penghadapan Dhalem ,Raja kala itu tidak mengeluarkan sepatah kata ,karena Dhalem sangat marah ,dalam hatinya Dhalem ada niat untuk membunuh Ki Gusti Celuk ,melihat gelagat Dhalem yang demikian itu akhirnya Ki Gusti Celuk bersama istri dan dengan sanak keluarganya meningalkan Gelgel .
Sekarang diceritakan Ki Gusti Celuk meninggalkan kota Gelgel menempuh perjalanan kebarat akhirnya tiba di Desa Nambangan Badung ,disana Ki Gusti Celuk bermalam disertai dengan empat putranya ,kedatangan Ki Gusti Celuk diterima oleh Arya Kenceng penguasa Badung saat iu ,atas kebaikan dari Arya Kenceng sampai diberikan wadwa atau prajurit sebanyak 40 diri ,serta diberikan tempat tinggal disekitar Puri Arya Kenceng beberapa lama Beliau tinggal disana kemudian meninggalkan Nambangan Badung menuju Bumi Kapal,setibanya dikapal juga diterima baik oleh penguasa Kapal bernama Ki Gusti Agung.
Itu seklumit kisah cerita perjalanan leluhur yang tertuang dalam isi lontar yang sudah diterjemhkan dalam bahasa Indonesia ,
Kalau disimak dari Perjalanan leluhur bermula dari kota Gelgel Klungkung menuju kearah barat sampai di desa Nambangan Badung baru kemudian menuju dan menetap Desa Kapal
(Desa Kapal merupakan salah satu Desa tua bersejarah dari sekia Desa yang ada di Bali) ,setelah terjadi perkembangan jaman maupun gejolak politik kerajaan saat itu baru penyebaran menuju ketempat-tempat lain,kembali pada Desa Kapal yang mempunyai letak sangat strategis dan dari sekian banyak tempat persembahyangan atau Pura di Desa Kapal bisa di golongkan menjadi empat bagian :
- Pura khayangan jagat yang bersifat umum untuk pemujaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa bertempat di Pura Purusadha dan Pura Dhalem Bangun Sakti Kapal
- Pura Khayangan tiga bertempet di Pura Desa ,Pr.Puseh.Pr.Dalem (Dalem Dukuh,Dalem Gunung ,Dalem Panglan,dan Dalem Gede)
- Pura swagina, Pura Subak Dukuh, Pura Melanting Kapal.
- Pura kawitan merupakan khayangan tempat memuja leluhur yang berdasarkan asal-usul/wit dalam satu garis keturunan genetik salah satunya Pura Ibu Panti Gusti Celuk Kapal.
Pura Ibu Panti Gusti Celuk Kapal yang terletak dijalan raya Denpasar-Tabanan lingkungan Celuk Kelurahan Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.Pura ini sampai saat ini belum ditemukan angka tahun kapan didirikan namun sudah beberapa kali diadakan renopasi termasuk yang masih diingat oleh Pelingsir yang saat ini masih ada sempat dipugar pada tahun 1950an terutama pada Kuri Agung secara gotong royong oleh pemuka tokoh-tokoh pendahulu seperti Kapal ,Munduk(Buleleng) Belayu,Penarungan ,Batu Lumbung bersama pemuka Pemaksan yang lain yang tidak bisa disebutkan satupersatu sampai saat ini Kuri Agung tersebut berdiri dengan kokoh dan berkarisma ,menurut ahli sejarah Pura Ibu Panti Gusti Celuk Kapal disamping untuk pemujaan Ide Bhtara Ibu Kawitan juga sebagai pemersatu pratisentana Gusti Celuk seBali atau yang sampai saat ini telah tersebar menempati Wilayah sampai ada di luar Pulau Bali dan tetap ngrastiti atau subakti Ring Batara Kawitan melalui persembahyangan yang dilakukan disaat piodalan diPura Ibu Panti Gusti Celuk yang jatuh pada rahina tumpek krulut.
Pada saat sekarang ini sudah dirasakan oleh umat sedarma warih atau pratisentana Gusti Celuk dewasa ini saat melaksanakan persembahyangan ngrastiti ring Bthara Ibu serta nunas warenugraha Beliau dan merasakan berada dalam suasana pulang kampung atau rumah sendiri , itu merupakan cihna bakti dari pratisentana terhadap Beliau (leluhur) sehingga menemukan rasa keyakinan ,kedamian dan mendapat power atau semangat luar biasa dalam diri pratisentana (pemedek) .
Desa Kapal yang Unik dan Berbudaya Tinggi
Desa Kapal adalah salah satu desa tradisonal di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya, desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Mengwi Badung-Bali ini memiliki berbagai tradisi unik dan menarik yang masih berlangsung sampai sekarang, salah satunya adalah pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat-Bantal.
Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober.
Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Predhana
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini. Dalam tradisi ini masyarakat Kapal berkumpul di depan Pura Desa setempat dimana kemudian mereka membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok disediakan tipat dan bantal sebagai senjata, kemudian kedua kelompok ini saling melempari kelompok yang lain dengan tipat dan bantal ini.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol.
Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Keberadaan tradisi Perang Tipat Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar-lontar, salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut : Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat ketika itu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehinggga desa ini makmur dan tentram.
Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun Isaka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat Bantal ini di Desa Kapal (+ 666 tahun), salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehiduan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah berbagai krisis global yang terjadi, mulai dari isu pemanasan global sampai krisis pangan di berbagai belahan bumi, tradisi – tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan semesta.
Pura Sada Kapal
Salah satu pura kahyangan jagat yang terkenal di Desa Kapal, Mengwi, Badung adalah Pura Sada. Terletak di daerah pemukiman di Banjar Pemehetan Desa Kapal, Mengwi, Badung, lokasi pura ini mudah ditemukan. Masuk beberapa meter dari jalan utama jurusan Denpasar-Tabanan, umat sudah dapat melihat keberadaan pura yang konon dibangun tahun 830 Masehi itu. Lokasinya sekitar 15 km dan Denpasar. Salah satu pelinggih yang memiliki ciri khas tersendiri di utama mandala pura itu yakni prasada. Bahkan, prasada dan candi bentar di pura ini diakui sebagai situs cagar budaya yang mesti dilindungi.
Menurut beberapa sumber, nama pura ini kemungkinan diambil dari pelinggih prasada yang terdapat di utamaning mandala. Prasada itu pelinggih yang berbentuk pejal bertingkat-tingkat seperti limas berundak. Di Bali bentuk candi seperti itu dikenal dengan Candi Raras.Prasada itu tingginya mencapai 16 meter dengan atapnya bertingkat sebelas.
Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sanga. Delapan arca dewa distanakan di delapan arah pada atap pertama. Sedangkan arca Siwa diletakkan pada atap kedua di arah barat di atas arca Mahadewa. Kapan pura ini dibangun, belum bisa dipastikan, karena masih ada beragam versi.
Ada yang menduga, pura ini dibangun pada abad ke-12 Masehi dan ada yang menduga abad ke-16 Masehi. Ibu Niluh Suiti dari Fakultas Sastra Unud pernah menjadikan pura ini sebagai objek penelitian dalam rangka menyusun skripsi. Dalam laporan penelitiannya itu dinyatakan ada beberapa ahli yang pernah membahas keberadaan pura ini. Ahli tersebut antara lain CJ. Grader, A.J. Bernet Kempers, Prof. I Gst. Gede Ardana dan Drs. Rai Mirsa.
M.M. Soekarto K.Atmojo, seorang arkeolog yang pernah memimpin Lembaga Kepurbakalaan di Bali, menyatakan bahwa Pura Sada Kapal ini didirikan pada zaman pemerintahan Raja Jayasakti yang memerintah Bali dari tahun 1133-1150 M. Hal ini didasarkan pada nama Raja Ratu Sakti Jayengrat yang dihubungkan dengan keberadaan Pura Sada Kapal ini. Raja Ratu Sakti Jayengrat itu adalah Raja Jayasakti. Prof. I Gst. Gede Ardana pun sangat sejalan dengan pendapat ini bahkan menduga pura ini didirikan lebih awal dari zaman tersebut.
Tentang kapan berdirinya Pura Sada, ada juga yang mereka-reka berdasarkan bentuk bangunan. Bentuk prasada dan juga candi bentarnya memiliki kesamaan dengan langgam bangunan candi di Jawa Timur. Demikian juga bentuk bangunannya yang tinggi ramping serta kalamakara-nya tidak berahang di bawah. Bedasarkan hal itu, maka diperkirakan pura ini dibangun pada permulaan abad ke-16 Masehi.
Namun, menurut analisis penekun lontar asal Kapal, Ketut Sudarsana, pura ini dibangun pada kisaran tahun 830 Masehi.” Menurut Sudarsana yang juga dibenarkan Nyoman Nuada — salah seorang keluarga pemangku Pura Sada — pura ini juga sering disebut Purusadha. Pura artinya tempat suci dan sada berarti bumi.
Pura Sada merupakan tempat pemujaan Siwa Guru. Dalam sastra agama disebutkan, Hyang Siwa memiliki tujuh orang murid. Murid yang paling pintar adalah Rsi Banu. Karena kepintarannya, Rsi Banu dianugerahkan gelarAditya atau Raditya atau Siwa Guru. Siwa Guru inilah yang dipuja di pura ini.
Prof. Gst. Gede Ardana memperkirakan Pura Sada Kapal ini mendapatkan pemugaran dan peluasan pada zaman kejayaan Kerajaan Mengwi pada abad ke- 17 Masehi. Hal ini sangat logis karena pendiri Kerajaan Mengwi I Gst. Agung Putu leluhurnya dari Desa Kapal.
Pura Sada ini pernah hancur keterjang gempa pada tahun 1917. Saat Krijgsman menjadi Kepala Dinas Purbakala di Bedulu Gianyar tahun 1949, Pura Sada ini direstorasi dengan cukup teliti agar tidak jauh dari aslinya. Saat direstorasi ada seorang insinyur alami bernama I Made Nama sangat berjasa besar dalam usaha merestorasi Pura Sada Kapal yang tingginya 16 meter tersebut sehingga pura tersebut menjadi kokoh dan indah seperti sekarang ini.
Tetapi, menu rut Sudarsana dan Nuada, pura ini sempat direhab beberapa kali. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Raja yang naik tahta pada tahun 1324 Masehi ini merupakan pemimpin Bali yang arif dan bijaksana. Perhatiannya terhadap kahyangan-kahyangan yang menjadi sungsungan umat di Bali cukup tinggi.
Ketika Pura Sada diangap perlu direhab ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Bahkan. seusai menjalankan tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing), sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing se-wewidangan sebelah barat Tukad Yeh Ayung.
Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600-an. Pada tahun 1949 juga sempat direhab hesar-besaran.
Tri Mandala
Seperti halnya Pura-pura yang lain di Bali, Pura Sada memiliki Tri Mandala yaitu utamaning mandala (jeroan), madvaning utama (halaman tengah) dan nistaning mandala (jaba sisi). Di antara halaman tengah dan halaman utama terdapat candi kurung, sedangkan antara halaman tengah dengan jaba sisi terdapat candi bentar.
Di utamaning mandala terdapat pelinggih Padmasana, Pesimpangan Batara Gunung Batur, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Batara Manik Galih, Pelinggih Batara di Pura Sakenan, pelinggih atau candi Prasada, bale penyimpenan, bale pesambyangan, pawedan, bale piyasan, pelinggih Tri Murti, pesimpangan I Gusti Ngurah Celuk, Pesimpangan Ratu Made — Ratu Made Sakti Blambangan, pesimpangan Ratu Ngurah Panji Sakti, bale piyasan, pesimpangan Pura Teratai Bang dan sebagainya.
Sementara di madyaning mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari ApuanTabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madyaning mandala. Selanjutnya mengikuti prosesi upacara di jeroan. Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.
Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali, yakni setiap Tumpek Kuningan dan nyejer selama tiga hari. Pengempon pura ini adalah warga masyarakat Desa Kapal yang terdiri dari beberapa desa adat. Sedangkan penyiwi-nya dari berbagai daerah di Bali.
Satu-satunya pelinggih yang khas di pura ini yakni bangunan Prasada itu. Kemungkinan pada awalnya pelinggih Prasada ini tidak selengkap sekarang ini. Dalam tradisi Hindu di Bali memang cara membangun suatu bangunan di mana setiap generasi dapat peluang untuk menyempurnakannya. Pelinggih Prasada yang dibuat dari batu bata merah bagaikan Meru Tumpang Sebelas ini memiliki relung atau ruang di bawah atap pertamanya. Di relung ini distanakan Arca Hari Hara sebagai Murti Puja atau perwujudan Kemahakuasaan Tuhan dalam aspeknya sebagai Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yaitu sebagai pelindung kebaikan dan kebenaran (Sthiti) serta sebagai penghancur keburukan dan ketidakbenaran (Pralina).
Arca ini distanakan di relung Candi atau Pura Sada ini saat ada Pujawali pada Tumpek Kuningan dan saat ada melasti setiap Sasih Kesanga. Setelah itu arca tersebut distanakan di rumah mangku yang bertugas di Pura Sada tersebut.
Pelinggih Prasada ini merupakan stana Ida Batara Pasupati atau Siwa Guru atau Sang Hyang Lingga Buwana atau Sang Hyang Druwaresi. Ada pula pernyataan lain, yakni Pura Sada ini adalah pura yang didirikan sebagai stana raja yang diyakini setelah mencapai tahapan Sidha Dewata atau Dewa Pitara mencapai kesucian yang diidentikan dengan Sang Hyang Siwa Pasupati. Menurut tokoh Hindu Drs. I Ketut Wiana, M Ag, kata Pasupati ini berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari kata “pasu” dan “pati”. Pasu artinya hewan dan pati artinya menguasai. Memuja Tuhan adalah untuk mendapatkan suatu kekuatan suci agar mampu menguasai nafsu-nafsu kebinatangan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu kebinatangan atau keraksasaannya dialah yang akan dapat mencapai tahap rohani Yogiswara.
Pelinggih Satya
Pura Sada merupakan tempat suci Hindu yang memiliki peninggalan arkeologi. Karena itu pura ini merupakan salah satu pura yang termasuk cagar budaya.
Menurut Lontar Purwa Kandha Purana Kahvangan Purusadayang dipuja di Pura Sada adalah Sang Hyang Siwa Pasupati dan Dewi Manik Galih. Isi lontar itu kurang lebih berbunyi, “Wangunan Candisane dahat agung maluhur, pinaka linggih manira Sang Hyang Siwa Pasupati sareng Dewi Manik Galih. ” Lontar itu juga menceritakanasal-usul Desa Kapal.
Adapun tujuan pemujaan di pura ini dinyatakan sbb: Micavangsarining kahuripan ring para jadma ring jagate puniki nenten wenten sios mawiwit saking Kahyangan Purusada.
Jadi, tujuan pemujaan Batara Siwa Pasupati di Pura Sada ini untuk mendapatkan sari-sari kehidupan yang diyakini bersumber dari pemujaan Tuhan sebagai Batara Siwa Pasupati di Pura Sada.Selain pelinggih prasada, di pura ini terdapat pelinggih yang disebut satya yang jumlahnya 64 buah. Tiga buah di antaranya berukuran besar. Selebihnya, kecil-kecil. Pelinggih-pelinggih satyaitu menghadap semua penjuru.
Bangun Sakti
Menurut Ketut Sudarsana, Pura Sada memiliki keterkaitan dengan Pura Dhalem Bangun Sakti yang juga berada di Desa KapaL Misalnya jika Ida Batara di Pura Dhalern Bangun Sakti lunga ke Bale Agung, terlebih dulu mesti mendak Ida Batara di Pura Sada. Hal ini sudah menjadi keyakinan masyarakat secara turun-temurun. Jika di keluarga pemangku mengalami kacuntakan, ketika tapakan Ida Batara Pura Sada lunga ke Bale Agung maka pemangku di Pura Dhalem Sakti yang diperbolehkan nedunang pralingga Ida Batara Pura Sada.
EmoticonEmoticon